Halloween party ideas 2015

Perempuan di Ujung Mata (2/3) | Cerita sebelumnya bisa dibaca di sini : BAGIAN 1

~Sedari pagi tadi ketika aku membuka pintu perpustakaan, dorongan diri dan rasa tidak sabaran membuat aku gelisah. Biasanya aku hanya cuek dengan para pengunjung saat mereka datang dan mengisi buku tamu, biasanya aku akan sibuk berbalas chat atau membaca berita seputar game di komputer. Kali ini acap kali para pengunjung mengisi buku tamu, aku perhatikan dengan seksama, terlebih jika pengunjung itu perempuan. Dalam hatiku selalu berucap. Apa ini orangnya? 

Lewat beberapa langkah kaki setiap pengunjung baru meninggalkan buku tamu, aku selalu bergegas mengecek apakah itu orang yang aku tunggu. Namun hingga pukul setengah sebelas nama Pangesti tidak juga muncul di buku tamu. Aku mulai kecewa sekaligus putus asa. Walau aku sendiri tidak mengerti mengapa aku harus kecewa apalagi sampai putus asa.

Rasa penasaran terkadang membuat manusia menjadi orang yang tidak sabaran. Mungkin sebentar lagi. Aku coba menyabarkan diriku sendiri. Sebab orang bijak sering bilang bahwa kesabaran akan berbuahkan hasil yang luar biasa. Tapi orang bijak juga manusia, mereka bisa saja salah. Kekecewaan siap menungguku di waktu terakhir.

Hari ini Reza terlambat lagi datang dan ini lebih molor daripada hari sebelumnya. Jelas hal macam ini membuat aku sedikit kesal, ditambah lagi aku baru saja merasakan kekecewaan yang tidak berdasar. Maka berucaplah aku pada Reza dengan nada sedikit tegas bahwa ia harus datang lebih awal besok, sebab aku tidak bisa menunggunya terus menerus hingga pukul setengah dua siang.

Reza tidak mengucapkan apa pun, ia hanya mengangguk tanpa berani menatap mataku. Dan di perjalanan pulangku, aku cukup menyesal sudah bersikap seperti itu padanya. Paling tidak aku bisa memberitahunya dengan cara yang lebih ramah. Atau mau mendengarkan alasan mengapa ia terlambat, bukankah setiap manusia punya sebuah alasan untuk sebuah kondisi tertentu.

Seperti Pangesti yang tidak datang ke perpustakaan. Kira-kira apa alasannya? Jelas pikiranku yang gundah gulana membuat kebiasaanku sedikit berubah. Ibuku yang menyadari bahwa ada yang tidak beres padaku bertanya saat aku makan sepulang dari perpustakaan. Kala itu Ibu sedang membuat kue pesanan orang—sedari Ayah meninggal akibat kecelakaan Ibu mencoba menyibukkan dirinya dengan membuat kue untuk dititipkan ke warung-warung sekitar komplek.

“Tumben kamu setelah makan melamun gak langsung masuk kamar main game?” Tanyanya.

Aku kaget saat Ibu memegang pundakku sambil bertanya seperti itu. Aku pun menjawabnya cepat. “Iya,” aku tersenyum sambil memikirkan apa yang harus aku ucapkan.

Ada masalah di tempat kerjamu?” Aku menggeleng. ‘Tidak ada.” Ibu diam berpikir. “Kamu lagi jatuh cinta ya?” “Ah, Ibu. Apaan sih!” Aku tertawa sambil bangkit dan berencana untuk lari dari perbincangan itu.

Cewek mana, kenalkan ke Ibu ya?”Bukan. Tidak ada yang jatuh cinta,”aku mempercepat langkahku menuju kamar, menjauh dari pertanyaan selanjutnya yang akan membuat aku tak punya jawaban. Di kamar aku menyalakan komputer, tujuanku bukan untuk bermain game, tapi untuk memeriksa apakah ada email yang masuk. Sungguh sejak kemaren aplikasi email di komputerku ini membuat aku seperti orang bodoh.

Email yang aku harap ada malah tidak kunjung muncul, sekali pun ada email, itu hanya spam yang nyasar dengan subjek yang tidak pernah aku selesai baca hingga kata terakhir. Hapus dan selesai sudah riwayat spam tadi.

Entah kapan aku mulai memejamkan mata, tidur siang tanpa bermimpi dan terbangun ketika sore sudah hampir berlalu disambut malam. Saat aku ingin pergi ke kamar mandi, Ibu sedang memasak di dapur untuk makan malam. Aku mempercepat langkah agar Ibu tidak punya kesempatan untuk memulai lagi pembicaraan siang tadi.

Selesai mandi, sesi bermain game dimulai. Salah satu kebiasaan buruk para gamer saat bermain game adalah, tak peduli dengan apa pun, bahkan dengan rasa lapar yang menggerogoti perut sendiri pun tidak diperdulikan. Lagi-lagi aku bermain hingga larut malam, waktu terasa seperti berlari begitu cepat. Waktu memang tak pernah terasa cukup. Dan ini seperti tipu muslihat yang dilakukan oleh seorang pesulap tepat di depan mataku.

Selesai sesi bermain game, email itu datang seperti malam sebelumnya. Perutku sudah sangat keroncongan, tapi email itu cukup menahan diriku untuk tidak keluar kamar dan pergi ke dapur mencari makan. Berikut isi email tadi : 

“Siang tadi kau pasti menungguku di Perpustakaan kan? Maaf, aku tak bisa pergi ke sana disebabkan Aku senang kau merespon email-ku yang sebelumnya, dan mau menjadi pendengarku dari kejauhan ada sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan di sini. Walau sebenarnya aku juga berharap bisa berjumpa denganmu dengan cara yang benar, menatapmu lalu bercerita di hadapanmu dengan berani.

Terkadang aku memang sering menjadi pengecut, seperti pengecutnya aku menghadapi kenyataan bahwa aku dan Ryu tak mungkin bisa bersama. Aku selalu berucap dalam hati bahwa kami ditakdirkan bersama, tapi kenyataannya kami bagaikan langit dan bumi. Hampir tiap kali aku sembahyang tak pernah lupa berdoa kepada Tuhan, bukan meminta Tuhan berikan petunjuk yang lebih baik, tapi aku meminta pada Tuhan agar Ryu menjadi pasangan hidupku.

Akan tetapi setelah selesai sembahyang biasanya aku malah merenung, apakah sudah tepat apa yang aku lakukan. Meminta pada Tuhan padahal nyatanya Ryu berbeda keyakinan denganku. Jelas Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk umatnya, namun bisa saja yang Tuhan anggap baik untuk kami, tidak baik menurut kami, terutama tentang pilihan bahwa kami harus berpisah.

Walau pun demikian aku tidak pernah absen untuk berdoa pada Tuhan, sebab aku pun sadar bahwa Tuhan itu hanya ada satu di dunia ini. Dan sekali lagi seperti yang aku bilang sebelumnya bahwa aku percaya dengan keberadaan Tuhan tapi tidak bisa menerima konsep dari agama-agama. Ini memang terdengar sangat rumit dan gila. Mungkin jika orang lain mendengar pernyataanku ini aku dianggap seorang ateis, padahal sangat jelas, aku juga monoteis seperti orang-orang. Hanya saja agama itu hadir seperti tembok di antara aku dan Ryu. Dulu aku percaya bahwa hidup manusia itu merupakan sesuatu yang bersifat konseptual.

Takdir menjadi peranan penting atas segalanya. Maka aku juga jadi bertanya akan hal ini, mengapa takdir mempertemukan aku dan Ryu, membiarkan kami menjalin hubungan, menyatukan kami semakin erat, hingga kami terlanjur mencintai dengan sangat mendalam satu sama lainnya. Dan sekali lagi pertanyaan-pertanyaan yang terdengar sederhana itu tidak pernah menemukan jawaban yang bisa memuaskanku. Hal-hal yang terdengar sederhana memang tidak sesederhana yang dipikirkan.

Lalu muncullah beberapa gagasan yang revolusioner di kepala kami. Rencana-rencana gila yang seolah berani kami lakukan tapi membuat kami menciut pada akhirnya. Tentang kabur dari orang-orang, merelakan salah satu dari keluarga kami, hingga berpikir pesimis bahwa tak ada jalan keluar yang bisa kami lakukan—“bagaimana jika kita minum racun saja bersama-sama seperti Romeo dan Juliet” ucapku dengan wajah murung saat kami merenung bersama.

Tapi kami berdua pun tahu bahwa itu bukan jalan keluar yang benar jika kami ingin terus bersama. Tak ada yang bisa menjamin kami bisa berjumpa setelah mati, jikalau kami masuk surga atau neraka  pun, belum tentu kami berada di surga atau neraka yang sama sebab setiap agama punya surga dan nerakanya masing-masing.

Lucu memang tapi demikianlah adanya. Lalu semakin kebelakang kami mencoba untuk objektif, mencoba memahami situasi kami, mencoba menarik diri kami dengan mengurangi waktu berjumpa kami, rencananya agar kami terbiasa, tidak saling ketergantungan. Namun apa yang kami dapat? Rindu! Rindu menjadi momok yang sulit kami kalahkan. Ini seperti berperang dengan perasaan kami sendiri. Kamilah pro dan kamilah kontra, jadi tak mungkin perang ini bisa kami menangkan sekaligus kalah dalam waktu bersamaan.

Hidup bukan pelangi, yang selalu terlihat indah meski sebelumnya badai dan petir menguasai langit, sebab pelangi hanyalah tipu muslihat pengalihan keadaan, sedangkan hidup hanya punya kenyataan. Sedari awal kami hidup dalam pelangi, hidup dalam buayan phatamorgana. Padahal jelas sekali, kami seperti puisi sedih yang ditulis oleh seorang penyair patah hati. Getir isinya tapi tetap terdengar indah lariknya.

Dan sebuah puisi harus berakhir. Kuharap kita bisa bersua dengan cara yang benar, saling mengenal dengan cara yang wajar. Walau aku takut semua itu tidak pernah akan terjadi. Tapi apa pun yang terjadi aku sangat berterima kasih padamu Oo, karena sudah mau jadi pendengar yang baik untukku. Huh, aku malah berubah ragu-ragu... Aku. Pangesti.”

Bisa kubayangkan getirnya ia menelan liurnya sendiri ketika sedang menulis email itu. Pasti banyak pertimbangan, dibaca ulang, dan dihapus beberapa bagiannya. Membicarakan masa lalu pahit itu seperti menonton film yang sudah jadi. Berulang-ulang pun di ulang, hasilnya tetap sama, tak ada satu adegan pun yang akan berubah. Akan terus seperti itu, pahit melebihi pahit kopi hitam yang pekat tanpa secuil pun gula. Dan mungkin saja ia menangis saat menulis email itu.

Aku menebak-nebak perasaannya. Aku melamun setelah membaca itu, rasa lapar yang sebelumnya berpesta di perutku kini sudah tak terasa lagi. Aku sedikit bersyukur dengan keadaanku yang tidak memiliki kekasih, tidak akan dibebani oleh perasaan seperti itu, tidak di hantui oleh kemungkinan akan patah hati. Namun bersamaan dengan itu aku juga merasa kesepian.

Secara sadar aku menyadari apa yang aku inginkan. Aku ingin memiliki seseorang yang aku cintai, tapi aku terlalu takut untuk disakiti. Cinta tak bisa menawarkan kebahagiaan tanpa bumbu rasa sakit. Karena cinta itu tidak sempurna. Dan aku belum siap menghadapi itu semua. Bisa dibilang aku sangat egois selebihnya berpura-pura sangat apatis dengan hal ini. Aku tidak mengerti apa yang aku harapkan atas kisah Pangesti ini.

Menjadi pendengar dan kini perlahan jadi pemikir atas segala hal baru yang aku ketahui. Aku tak bisa acuh, dan juga tidak berdaya untuk semakin dalam turut campur ke hidup Pangesti. Apakah besok aku harus berjumpa dengannya? Seperti yang ia bilang, ia sangat ingin berjumpa denganku di perpustakaan. Aku yakin ia pasti muncul lagi, mungkin besok atau lusa, tak ada kepastian.

Namun aku terlanjur yakin, atau lebih tepatnya berharap. Apa yang akan aku bicarakan pabila bersua dengannya nanti. Tak ada hal yang menarik pada diriku untuk diceritakan padanya. Hidupku terlalu aneh untuk diceritakan, terlalu sepi untuk diungkapkan. Tak mungkin aku membicarakan video game dengannya. Apa lagi hampir semua perempuan tidak suka dengan laki-laki yang menghabiskan waktunya untuk bermain video game.

Perempuan butuh perhatian dan terlebih lagi mereka sulit untuk dipahami. Kadang apa yang mereka ucapkan tidak sama maknanya dengan apa yang mereka inginkan. Ini menurut kata-kata seorang pelawak yang pernah aku tonton di televisi.

Aku kembali duduk dan membalas email tadi dengan sedikit kegugupan. Aku tidak mengerti mengapa jantungku berdebar sangat kencang ketika membalas email itu. Ini seperti sinya SOS yang dikirim seseorang dari kejauhan, namun aku tidak mengerti sinyal macam apa itu, sehingga aku tidak menganggapnya terlalu serius, lalu suatu hari muncul berita bahwa si pengirim sinyal mati ditelan kesepian.

Demikian aku membalas : “Aku masih mendengarkan seperti janjiku. Namun tak apa kan, jika aku juga mulai berpikir untuk hal ini. Kurasa kita harus segera bertemu.” Balasanku hanya sependek itu.

Aku terdiam memandang layar monitor yang sudah berhasil mengirim email balasanku itu. Astaga, mengapa aku harus menulis bahwa kami harus segera bertemu. Aku malah tidak yakin kalimat itu merupakan kalimat yang tepat untuk dituliskan, selebih lagi, agar apa kami harus berjumpa secepatnya. Tidak ada alasan kuat untuk hal itu. Aku malah menyesal dan kecewa dengan diriku sendiri.

Setelah membalas email tadi, aku tidak melanjutkan sesi bermain game, aku berbaring di atas tempat tidur dengan lampu kamar kumatikan dan monitor komputer tetap menyala, aku memiringkan badan agar bisa melihat monitor dengan jelas. Menunggu emailku di balas. Namun hingga ku tertidur lalu alaram pagi berdering mengusik seperti biasa, tak ada satu email pun yang masuk.

Mengapa ia tidak membalas. Apa ia bingung harus bilang apa lagi. Apa yang kurasa benar, bahwa kalimat yang aku tulis itu  terdengar tidak tepat. Lagi-lagi aku mengira-ngira. Namun hari ini aku cukup bersemangat untuk berkerja, menunggu seorang perempuan datang dan mengisi buku tamu dengan nama itu. Apa ia akan muncul?

Bisa saja, walau di email itu ia tidak bilang bahwa hari ini akan ke perpustakaan. Tak pernah sebelumnya aku merasa seperti ini, berangkat kerja dengan sebuah tujuan jelas, dengan harapan akan berjumpa dengan seseorang, walau faktanya aku tidak bisa disebut mengenalnya. Pelan-pelan sesuatu berubah pada diriku, mungkin inilah yang disebut dengan evolusi. Aku tertawa memikirkanya, membayangkan bahwa dulu aku seekor monyet dungu yang perlahan berevolusi menjadi seorang manusia. Mungkin demikianlah yang membuat Charles Darwin berpikir tentang teori evolusi. [.]

Post a Comment

Lampung Siger

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNeb3p20FhpRtylGiQh6CSsVHC6WYrb21a3d68W9BfezP23AUNlJ3UDDJsPx95ZV9_t-Xeo8zlM36GrzbSEhG2LN1JH04UhG7A-4BATCB-BBAcgqLYg-E_Q5VaNkWrL9J41_w2E0bah_k/s1600/SNews.png} Lampungsiger.com adalah portal berita terkini provinsi lampung {facebook#https://www.facebook.com/Lampung-Siger-112788135918185} {twitter#https://twitter.com/lampungsigercom} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#https://www.pinterest.com/lampungsiger/} {youtube#https://www.youtube.com/channel/UCQyVKhTU6KnMdpXd3qAuAyg} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Powered by Blogger.