Halloween party ideas 2015


Perempuan di Ujung Mata

Cerpen : Loganue Saputra Jr.

Saat ini dunia memang terasa sangat sempit sekaligus luas. Teknologi semakin canggih, dan kebanyakan orang mulai berubah autis. Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mengidap penyakit autis karena internet. Kalian yang bernasib sama sepertiku pasti mengerti autis seperti apa yang ku maksud. 


Dan kalian juga pasti pada suatu waktu merasakan kesepian mendalam seperti yang aku rasakan di waktu-waktu tertentu. Ya, demikianlah orang-orang menyebut dunia ini adalah dunia baru. Dunia yang membuat orang jauh terasa dekat, namun tidak benar-benar dekat. Dan orang dekat menjadi jauh, hingga terjebak dalam tarap kesepian. 

Saat itu aku sedang memainkan sebuah game online, sudah hampir setahun terakhir ini aku memainkan game ini, dan sejak awal pun aku tahu bahwa game macam ini tidak ada ujungnya. Tapi aku tetap saja memainkannya, mungkin karena semua orang sedang ramai memainkannya, atau memang sedang menjadi topik hangat di kalangan para gamer.

Namun walau pun demikian, tak pernah sekali pun aku membicarakan tentang game itu kepada orang-orang di rumah. Karena jelas mereka tidak tertarik, dan tidak mau tahu. Tapi itu tidak masalah. Sampai suatu hari sebuah email masuk ketika aku baru saja menutup sesi bermainku malam itu. Lebih tepatnya pagi itu, karena aku bermain game hingga pukul empat dini hari. 

Aku tidak mengenal siapa pengirim email itu, itu adalah email pertama darinya. Tidak masuk ke spamkarena jelas itu bukan spam.  Sebelumnya aku juga jarang mengecek email masuk, karena memang tidak ada email yang sedang aku tunggu. Tapi tiba-tiba saja hatiku seperti diketuk oleh seseorang, entah siapa. 

Perasaan macam itu mengalir begitu saja, membuat aku mengklik dua kali aplikasi email dan merelakan waktu beberapa detik untuk menunggu loading sebelum akhirnya kusadari ada sebuah email masuk. Email itu dari maistro12@hotmail.com dengan subjek; Untukmu Oo. Jelas nama Oo itulah yang membuat aku mengkatagorikan email itu sebagai email dari seseorang yang aku kenal. Sebab tak banyak orang yang tahu dengan username yang sering aku gunakan itu. 

Jadi email tadi langsung aku klik dan muncullah sebuah pesan cukup panjang yang membuat mataku kembali segar selepas dari lelah dan mengantuk. Demikian isi email tadi : 
Kau tidak akan menganggap ini sebagai pesan, jadi saat kau membaca ini kau akan terkejut bahwa faktanya kau tidak menghapus ini sebelum sempat membacanya. Bahkan setelah kau membacanya pun kau tetap tidak menghapusnya. Tidak ada konsekuensi yang akan didapat jika tidak membaca atau juga menghapusnya. Jelas kedua hal itu tetap tidak kau lakukan hingga detik ini. Lewat ini aku hanya ingin memberitahumu bahwa dunia masih berputar seperti pada awalnya diciptakan, namun saat ini akan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak orang-orang sadari sama seperti kau, kecuali pabila saatnya tiba, saat hal-hal manis itu jatuh dari langit dan kau berdiri di tengah-tengah sepi di bawah payung yang melindungimu. Sekiranya kau tidak akan bertanya. Mungkin ini bukan komunikasi pertama kita secara verbal, tapi kau bisa mengira ini adalah yang pertama, apa pun itu semua tak ada bedanya. Pada suatu waktu aku merasa perlu untuk menulis ini, dan memberitahumu bahwa aku adalah nyata adanya. JIka diibaratkan aku adalah bagian dari kesepian yang kau rasakan, kesepian yang tidak pernah mencoba untuk mengusik apalagi membuat kau terhibur. Aku ada dan ingin kau akui keberadaanku. Kita pernah bersua di sebuah kesempatan, akan tetapi bisa saja kau tidak menganggapnya demikian. Dan pun demikian kita tidak bisa dikatakan sudah berteman secara benar. Dan kebenaran yang aku maksud tidak bisa aku jelaskan dengan terperinci. Mungkin kau merasa ini terlalu berputar-putar, terlalu bertele-tele, dan demikianlah aku, kau harus memaklumi hal semacam ini. Dan setelah ini beberapa hal akan berubah, beberapanya lagi akan tidak terkendali, atau mungkin beberapanya lagi akan menghilang begitu saja. Kita tidak pernah tahu bukan. Salam hangat, Pangesti.
“Pangesti?” Baru kali ini aku mendengar nama itu, seingatku dari sekian banyak hal yang bisa aku ingat saat itu, aku benar-benar baru kali ini mendengar nama itu. Memang ingatan manusia tidak bisa ditebak, kadang bisa lupa, terkadang bisa muncul macam dejavu, dan yang paling parah terkadang tidak bisa dilupakan begitu saja, menempel terus menerus seperti penyakit yang tidak ada obatnya. Hingga pagi benar-benar datang, maksudku hingga terang matahari masuk hampir menembus gorden jendela kamarku, aku masih terjaga.

Aku terus berpikir tentang nama itu, tentang email tadi. Tentang kemungkinan bahwa dahulu, entah kapan aku pernah mengenal seseorang yang bernama Pangesti. Ini benar-benar mengusikku. Alaram pagi pertanda aku harus keluar dari kamar berdering. Tapi tak ada cara atau alasan yang tepat bagiku untuk tidak menghiraukannya. 

Andai saja aku matikan lalu aku memutuskan untuk kembali tidur, jelas itu adalah sebuah penghianatanku pada diriku sendiri. Aku sudah bertekad bahwa aku harus disiplin pada peraturan yang aku buat sendiri. Bangun ketika alaram berdering, mandi, sarapan, lalu pergi berkerja di perpustakaan. Sudah hampir dua tahun aku berkerja di perpustakaan kota. Aku suka tempat itu, sunyi serasa asing, meski banyak orang yang datang berkunjung untuk menyapa buku-buku yang tersusun rapi di rak-rak. 

Hal yang paling aku suka di perpustakaan tempat aku berkerja adalah, bahwasanya wi-fi di sana tersedia secara geratis. Aku bisa melakukan banyak hal dengan internet, bisa berselancar kemana saja, ramai di dunia maya namun sepi di dunia nyata. Sungguh fakta yang menyedihkan. Aku berkerja dari jam delapan pagi hingga jam dua siang. Selepas itu akan ada orang lain yang menggantikan tugasku hingga pukul enam sore. Namanya Reza, dia perempuan berambut pendek seperti laki-laki, bermata sendu, berkulit coklat seperti orang India. 

Tidak banyak yang aku ketahui tentangnya, bahkan berbicara panjang lebar pun tak pernah, kadang kami hanya menyapa dan mengucapkan terima kasih atau sekadar sapaan biasa sesama rekan kerja.  Terkadang juga kami berkomunikasi lewat pesan-pesan singkat yang kami tulis di kertas memo dan ditempelkan di papan pemberitahuan yang ada di belakang meja kerja kami. Pesan-pesan itu kebanyakan tentang beberapa tugas yang belum sempat dikerjakan lalu meminta tolong untuk menyelesaikannya.

Pun di perpustakaan aku masih saja kepikiran tentang email tadi, namun anehnya tak pernah ada niat di hatiku untuk membalas email tadi menanyakan langsung siapa sebenarnya orang yang mengaku bernama Pangesti itu. Entah kenapa aku merasa email itu seperti portal yang hanya memiliki jalur satu arah saja, seperti sebuah pintu yang hanya dimasuki lewat satu arah dan tak akan mungkin bisa di masuki lewat arah aku berada. Jadi membalas email itu akan sia-sia belaka.

Aku terlalu serius berasumsi dan nyatanya aku tidak mencoba untuk membalas email tadi. Walau aku masih saja penasaran. Beberapa orang silih berganti datang ke perpustakaan seperti hari-hari biasanya, beberapa datang untuk membaca dan meminjam buku, beberapanya lagi datang hanya untuk menikmati internet geratis. Tapi itu semua bukan masalah, yang penting mereka tidak menggangguku atau membuat keributan yang bisa merepotkanku.

Semua aman, hampir sama seperti hari-hari biasanya, hingga jam kerjaku hampir usai tak ada hal yang luar biasa terjadi, kecuali tumpukan buku di atas meja yang belum dikembalikan ke rak buku. Kurang lebih tiga puluh menit Reza akan datang, para pengunjung mulai sepi karena beberapa dari mereka keluar untuk makan siang (ini asumsiku saja). 

Aku mulai mendorong troli kecil, memasukkan buku-buku tadi ke dalam troli lalu menyusunkanya kembali ke rak. Biasanya sembari menyusun buku-buku aku akan berpikir tentang strategi yang akan aku gunakan pada saat bermain game nanti ketika pulang kerja, namun kali ini bukan hal itu. Kepalaku masih dipenuhi dengan simbol tanda tanya ‘siapa sebenarnya Pangesti’. 

Selesai menyusun buku-buku, aku kembali duduk di depan meja kerja, memerhatikan monitor sembari membaca komentar-komentar pada kotak chat yang isinya para gamer. Seperti biasa orang-orang itu (demikian istilahku untuk teman-teman tidak benar-benar nyataku itu aku sebut) membicarakan banyak hal tentang game, terkadang juga melucu dan mengirim video atau foto lucu untuk menghibur. Karena kemungkinan pada faktanya, orang-orang itu juga mengalami apa yang aku rasakan, mereka kesepian dan butuh hiburan serta menghibur orang lain lewat candaan. 

Demikianlah kami, orang-orang yang payah berkomunikasi di dunia nyata, kaku, dan kebanyakan menarik diri. Sudah hampir tiga puluh menit waktu berlalu, namun Reza belum juga kunjung datang. Tidak seperti biasanya, biasanya ia akan datang kurang lebih lima menit lebih awal, dan waktu lima menit itulah terkadang digunakan untuk membicarakan tentang pekerjaan yang belum aku selesaikan dan meminta tolong padanya untuk menyelesaikannya. Apa ia punya keperluan mendadak? Pikirku mencoba untuk positif. 

Tak ada pilihan lain selain terus menunggu. Sambil menunggu aku mengambil buku tamu yang ada di meja depan, menghitung berapa orang pengunjung hari ini, kebanyakan para mahasiswa, dan jumlahnya ada dua puluh tiga orang. Aku membaca nama-nama mereka dan membayangkan wajah mereka, mengingat wajah-wajah tadi yang sempat aku lihat walau hanya sekilas. Lalu tiba-tiba aku terhenti di daftar nama urutan ke tiga belas. “Pangesti!” Cukup keras aku membaca nama tadi.

Apa ini orang yang sama, atau hanya kebetulan belaka. Aku terdiam dan menenggelamkan diriku ke dalam pikiran tadi. “Hey, maaf aku terlambat!” Sapaan itu membuat aku menutup buku tamu dengan cepat dan menoleh ke arah si empu suara tadi. 

Reza meletakkan tas kain kecil di atas meja, kemudian mengisi daftar keterangan hadir. “Sory ya, tadi aku ada perlu sedikit.” “Iya tidak apa-apa,” Kututup chat yang sejak tadi terus bergerak memenuhi kotak chat. Kami pun membisu setelah itu. Reza sibuk dengan urusannya, sedangkan aku bersiap untuk pulang. 

Namun ketika aku ingin pergi, langkahku terhenti. “Oiya, bisa aku minta tolong satu hal?” Reza mengangkat wajahnya untuk melihat ke arahku. “Minta tolong apa?” “Tadi ada pengunjung yang bernama Pangesti. JIka ia kembali lagi beritahu padanya terima kasih, tapi aku harus pulang,” aku terdiam berpikir lagi, apakah yang baru saja aku ucapkan itu bisa dimengerti nantinya. 

Reza bangkit kemudian bersandar pada pinggiran meja. “Pangesti? Temanmu? Orangnya seperti apa?” Aku terjebak oleh ulahku sendiri, membuka pembicaraan dengan Reza tentang Pangesti. “Iya. Ciri-cirinya...” aku berusaha membayangkan seperti apa wajah dan rambutnya. “Yang pasti ia akan mengisi buku tamu lagi dengan nama itu. Ya kurang lebih begitu,” aku benar-benar bingung harus menjelaskannya seperti apa. 

Reza tersenyum. “Okey, akan aku sampaikan.” Dengan kegelisahan yang terus mengusik pikirku, aku berjalan pulang dalam kesunyian. Kebisingan di sekitar tidak mampu mengalahkan rasa terusikku dari Pangesti. Bagaimana jika Pangesti yang tadi muncul di perpustakaan bukan Pangesti yang mengirimi aku email. 

Sesampai di rumah aku tidak bermain game, aku malah berbaring dan terus berpikir. Sudah kurang lebih dua jam waktu berlalu sejak dari aku pulang dari perpustakaan. Aku penasaran apakah Pangesti kembali ke perpustakaan. Apakah Reza menyampaikan pesanku. Jika semua itu benar terjadi, apakah ia akan mengirimiku lagi email? 

Kunyalakan komputer, kubukan emailku. Tak ada pesan baru, berulang-ulang aku refresh hasilnya tetap sama, Astaga aku terlalu berharap!  Hingga pukul sembilan malam tak ada satu pun email masuk, maka aku pun memulai sesi bermain game. Pabila sudah mulai bermain game maka biasanya aku tidak ingat waktu, malam semakin larut, orang-orang di rumah sudah terlelap, pertualanganku di dunia virtual menjadi sesi menyenangkan yang memisahkan aku sejenak dari kehidupan nyata yang terkadang terasa pelik. 

Aku berhenti sejenak setelah menyelesaikan sebuah misi yang cukup sulit bersama gamer-gamer lainnya, keluar dari kamar mengambil minum untuk menawari dahagaku yang aku tahan sedari tadi. Namun selepas aku dari minum, aku membuka email dan mendapati satu email baru yang membuat aku mengklik cepat email tadi. Email itu dari Pangesti. 
Hi, apa kabarmu. Tadi di perpustakaan temanmu memberitahuku bahwa kau menitip ucapan terima kasih sekaligus meminta maaf karena harus pulang dulan. Aku tidak menyangka kau ternyata memerhatikanku—atau mungkin kau hanya menebak? Tolong beritahu aku. Kukira email pertamaku kau abaikan begitu saja. Aku tidak terlalu berharap juga sih kau membacanya. Tapi ternyata kau membacanya, dan mungkin kau mulai mencoba memahaminya. Kehidupan memang kadang demikian, disingahi oleh hal-hal yang sulit kita pahami atau bahkan memang tidak untuk kita pahami, namun ada nyatanya. Hari ini aku membaca beberapa buku tentang Tuhan, aku tipe orang yang percaya tentang keberadaan Tuhan, tapi sulit memahami konsep Agama. Aku tidak mengerti apakah kau orang yang tepat aku ajak bicara tentang apa yang pernah aku lewati. Dan aku butuh seseorang yang mau mendengarkan. Secara sepihak aku memutuskan kau mau menjadi seorang pendengar atau pemberi saran mau pun opini jika kau berkenan. Okey akan aku mulai! Ini terjadi pada diriku sudah sangat lama, kurang lebih dua tahun. Dan hal ini baru saja berakhir beberapa bulan yang lalu, jadi seperti apa pun cerita ini aku ceritakan, beberapa hal tidak akan berubah. Hanya saja seperti yang aku bilang sebelumnya, bahwa aku hanya butuh orang yang mau mendnegarkan saja. Selama kurang lebih dua tahun ini aku menjalin asmara dengan seorang lelaki yang bernama Ryu (jelas ini bukan nama aslinya, sebab nama ini lebih menjurus kepada nama seorang karakter dalam game Street Fighter). Ia seorang nasrani dan aku muslim. Kami beda keyakinan secara nyata, tapi kami memiliki perasaan yang sama soal cinta. Kami sama-sama saling menginginkan. Aku sering kali bertanya dalam hati—mungkin demikian juga dengan Ryu. ‘Mengapa Tuhan menciptakan perasaan kami, pertanda seperti apa yang Tuhan maksudkan kepada kami berdua?’ Namun sekeras apa pun aku (kami) memikirkannya, tetap saja tak ada solusi yang bisa memecahkan masalah ini. Sebagian orang mungkin akan berucap dengan mudah. ‘Mengapa tidak salah satu dari kami saja yang berpindah Agama’ Secara gamblang memang ini soal perbedaan Agama, namun pada nyatanya ini juga menyeret kepada soal menyakiti orang-orang terdekat kami nantinya. Jika salah satu dari kami berpindah Agama jelas salah satu dari keluarga kami akan tersakiti, padahal yang kami inginkan kami tidak menyakiti siapa pun dalam kebahagian hidup kami kedepannya. Demikian juga jika kami akhirnya menikah dan kami tetap berada dalam kepercayaan kami masing-masing. Pihak keluarga tidak ada yang setuju. Sedari awal kami memutuskan untuk menjalin hubungan, perihal kandasnya hubungan kami sangat jelas di depan mata. Namun cinta kadang membuat mata buta dan telinga tuli. Dan akhirnya banyak hal berujung dengan sakit hati. Aku percaya Tuhan itu ada, namun aku mulai ragu dengan konsef yang agama tawarkan. Agama memang selalu mengajarkan kebaikan, tapi kebaikan hati kami untuk saling mencintai dan ingin hidup bersama jelas menjadi sebuah hal buruk dalam kaca mata Agama. Dan aku sering bertanya ‘mengapa Tuhan membiarkan ada banyak Agama di dunia ini’ jelas pertanyaan macam ini jika disalah artikan bisa bermakna menyalahkan Tuhan. Tapi apalah dayaku demikian juga dengna Ryu.... Salam hangat, Pangesti. 
Email itu hanya sampai disitu dan jelas cerita itu terasa masih belum selesai, aku menebak akan ada email berikutnya, mungkin di hari berikutnya. Dan untuk memeberitahunya bahwa emailnya sudah kubaca maka aku membalasnya dengan kalimat singkat. Aku di sini akan terus mendenegarkan. Aku tidak melanjutkan sesi bermain game. 

Jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Aku berbaring, berpikir dan berharap mungkin besok aku bisa berjumpa dengan Pangesti secara nyata di perpustakaan. Mungkin dengan berjumpanya kami, ia bisa leluasa bercerita secara langsung padaku. 

Lalu aku terdiam sampai pada pemikiran itu. Mengapa aku jadi peduli. Kami tidak saling kenal. Jelas aku tidak akan diuntungkan, demikian juga dirugikan. Lagi pula jika dibilang rugi waktu, aku terlalu banyak memiliki waktu luang untuk menjadi seorang pendengar. Ya, hanya mendengar, tidak lebih dari itu.


Editor       : Elji Zein
Klasifikasi : Ragam Budaya
Sumber    : www.Kompasiana.com 

Post a Comment

Lampung Siger

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNeb3p20FhpRtylGiQh6CSsVHC6WYrb21a3d68W9BfezP23AUNlJ3UDDJsPx95ZV9_t-Xeo8zlM36GrzbSEhG2LN1JH04UhG7A-4BATCB-BBAcgqLYg-E_Q5VaNkWrL9J41_w2E0bah_k/s1600/SNews.png} Lampungsiger.com adalah portal berita terkini provinsi lampung {facebook#https://www.facebook.com/Lampung-Siger-112788135918185} {twitter#https://twitter.com/lampungsigercom} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#https://www.pinterest.com/lampungsiger/} {youtube#https://www.youtube.com/channel/UCQyVKhTU6KnMdpXd3qAuAyg} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Powered by Blogger.