Cerpen Yeni Sulistiyani
S i s i
S i s i
Angin berhembus membelai dedaunan kering di bawah pohon bungur yang dipenuhi bunga-bunga warna ungu terkulai layu. Pohon ini beserta bunga-bunganya selalu mengingatkanku pada masa-masa kecil dan rumah yang begitu bersahaja yang terbangun dari kearifan ibu dan bapak. Pohon itu begitu besar dan rimbun tetapi terkadang terkesan angker pada malam hari tetapi aku menyukai aromanya. Aroma yang begitu sederhana tetapi meneduhkan dan menyejukkan. Capung-capung nampak begitu gembira terbang di atas alam bebas, yang penuh dengan keindahan. Tak seperti burung merpati yang enggan pergi dan hanya terpuruk di dalam sangkar.
Dedaun kering dan bunga bungur berwarna ungu yang terkulai layu mengingatkanku juga pada masa kecilku dan Sisi . Tak ada sisi yang kurang dari sosok seorang Sisi di mataku. Aku selalu merasa dia begitu sempurna. Dia banyak dicintai karena dia gadis yang manis dan cantik walaupun kulitnya coklat kehitaman, dia juga banyak dipuji karena kepintarannya. Bak bunga dia punya kelopak yang mekar indah dan wangi yang begitu sempurna. Aku sering kali merasa minder jika berdekatan dengannya walaupun dia adalah teman sebangkuku sejak kami duduk di kelas 1 SMP. Rumahnya berdekatan dengan sekolahku dan tak jarang kami pulang untuk sarapan pada saat jam istirahat karena sekolahku belum berpagar waktu itu. Di saat jam-jam istirahat semua murid keluar dari lokasi sekolah untuk sekedar jajan.
“Mbak Tia, pulang yuk!” ajak Sisi padaku saat jam istirahat. “Mau apa?” jawabku.
“Ambil buku pelajaran Matematikaku yang tertinggal di rumah, sekalian sarapan. Ibu tadi masak sambel terong dicampur teri. Enak banget deh kayaknya. Yuk, Mbak Tia belum sarapan, kan?” ajak Sisi merayuku.
“Hemmm, boleh. Ayuk…!” agak canggung aku mengikuti langkah Sisi pulang ke rumahnya.
Sampai di rumah Sisi yang asri, rapi, dan selalu bersih itu aku merasa selalu ciut karena rumah itu terlalu indah kulihat dibanding dengan rumahku yang biasa-biasa saja. Rumput tetangga memang selalu nampak lebih hijau dibanding taman di halaman rumah sendiri. Itu tepatnya yang kurasakan ketika itu. Aku sarapan dengan Sisi dan disambut Pak Marno bapak Sisi dengan senyumnya yang begitu hangat.
Pak Marno dan bapakku adalah kawan dekat bahkan Pak Marno sudah menganggap bapak adalah saudara tua baginya. Keluarga kami sudah begitu dekat dan akrab, bahkan banyak hal ihwal permasalahan di kehidupan keluarga Pak Marno bapaklah yang turut serta menyelesaikannya. Bapak adalah penasihat spiritual keluarga Pak Marno. Bapak juga ketua yayasan tempatku belajar. Bu Sri adalah ibu Sisi. Dia sangat sayang padaku, dia biasa memeluk dan mencium pipiku setiap kali bertemu. Damaiku kala itu merasa beliau seperti ibu bagiku. Sempurna dia ungakapkan kasih sayangnya pada putra putrinya juga aku begitu real. Bicaranyapun begitu lembut dan santun. Setidaknya itu pandanganku ketika itu. Namun bagiku kedekatan itu masihlah membuatku merasa kecil melihat kesempurnaan Sisi yang cantik dan selalu juara.
Bertahun-tahun aku selalu dibayang-bayangi rasa betapa kecilnya aku. Lebih tepatnya aku merasa seperti Upik Abu. Aku selalu berusaha untuk menjadi diriku sendiri, apa adanya aku, tetapi sosok Sisi tetaplah membuatku selalu ingin seperti dia.
Tiga tahun berlalu, aku lulus SMP dengan nilai yang cukup baik walaupun bukan terbaik. Yang terbaik tetaplah Sisi. Menerima Ijazah itu aku begitu gembira karena nilaiku bagus-bagus dan aku punya harapan dapat melanjutkan SMA di sekolah favorit Kota Solo. Aku sudah membangun impian tuk melanjutkan sekolah di Solo. Ibu, bapak, mbak, dan kangmas-kangmasku mendukungku dan turut serta membangun mimpi-mimpi baru itu. Sudah kubayangkan seperti apa rasanya menjadi anak kost.
Pagi-pagi yang sejuk, wanginya daun-daun dan bunga-bunga bungur di sudut rumahku begitu segar kurasakan, melambai-lambai dibuai udara lembut pagi itu. Begitu dingin dan sejuk. Aku masih menikmati libur panjangku, dan menunggu pendaftaran SMA Negeri Solo dibuka. Tiba-tiba datang Pak Budi pembina pramuka di sekolahku dan memintaku untuk menjadi pendamping adik-adik kelasku dalam acara lintas kampung.
“Pagi Tia!” sapa Pak Budi di teras rumahku.
“Pagi, Pak!” sahutku terkejut.
“Tia punya acara nggak pagi ini?” tanya Pak Budi.
“Enggak, Pak. Ada apa? Kok tumben tanya acara Tia. Mau ngajakin makan-makan yaa?” selorohku pada Pak Budi.
“Bukan, Bapak mau minta tolong Tia untuk membantu mendampingi adik-adik kelasmu dalam acara Limtas Kampung besok Minggu pagi. Bisa kan?” Tanya Pak Budi ramah.
“Iya, Pak. Insyaallah saya bisa.” Jawabku sambil tersenyum.
Keesoakan harinya aku dengan penuh semangat bersiap-siap mau berangkat pada acara Lintas Kampung sekolahku. Acara demi acara dilalui dengan penuh kegembiraan. Seluruh peserta wajib melintasi tiap-tiap pos yang ditentukan dan mengerjakan tugas-tugas yang telah disediakan di tiap posnya. Aku masih tetap dengan semangatku mendampingi adik-adik kelasku.
Matahari kian terik, usai sudah acara Lintas Kampung. Keletihan begitu terlihat jelas di wajah-wajah mungil adik-adik kelasku. Akupun berjalan gontai pulang menuju rumahku. Di perjalanan aku bertemu dengan dua orang guruku dan mereka mengajakku untuk jalan bersama. Maklum, namanya di kampung jalan kaki adalah cara yang bisa ditempuh untuk sampai di tempat tujuan. Mobil hanya ada yang mengarah ke kota. Sambil berjalan kaki kami berbincang-bincang sambil tertawa-tawa hingga akhirnya Pak Pras menanyakan tentang kelanjutan sekolahku.
“Mau melanjutkan sekolah di mana Tia?” Tanya Pak Pras sambil senyum-senyum yang tak kutau apa arti senyumnya itu.
“Insyaallah ke SMA Negeri Solo, Pak.” Jawabku bersemangat.
“Apa bisa masuk kamu di sekolah itu?” Tanya Pak Pras meragukanku.
“Insyaallah bisa, Pak. Nilai hasil ujian saya mencukupi tuk masuk di sana.” Jawabku tanpa memandang wajah Pak Pras yang mulai memuakkanku.
“Okelah kamu bisa masuk di sekolah itu, tapi apa kamu sanggup mengikuti pelajaran di sekolah sebagus itu. Kalau Sisi naa, pasti bisa, dia kan pintar dan cerdas. Lagipula bapakmu kan ketua yayasan masak kamu mau sekolah di sekolah lain, bisa jadi sekolah bapakmu nggak dapat murid kalau anaknya saja sekolah di sekolah lain. Itu tandanya sekolahnya tidak bermutu.” Ucap Pak Pras penuh semangat.
Glek, seperti ada yang tiba-tiba menyumbat tenggorokanku. Aku terdiam, aku tak sanggup bicara sepatah katapun. Hatiku begitu sakitnya dibanding-bandingkan dengan begitu jelasnya oleh Pak Pras dengan Sisi orang yang selalu membuatku begitu kecil. Bukan keraguan Pak Pras terhadap kemampuanku yang membuatku sesakit ini tapi perbandingan aku dengan Sisilah yang sangat membuatku sakit. Sakitku juga karena aku dianggap menghambat perkembangan dan kemajuan sekolah Bapak. Aku hanya menahan tangisku dan bergegas berlari secepat-cepatnya pulang ke rumahku.
“Ndok, maafkan Mbak ya. Memang sebaiknya kamu tetap sekolah di sekolah Bapak. Tolong berikan yang terbaik untuk Bapak dan sekolah dengan prestasi-prestasimu dan buktikan pada masyarakat kalau sekolah kita adalah sekolah terbaik di kampung kita ini!” tutur Mbakku keesokan harinya. Mendengarkan hal itu aku hanya bisa tertunduk lesu tak berani membantah perkataan Mbak karena itu juga berarti perkataan Bapak. Hatiku sangat perih, mimpi-mimpiku terberangus habis sudah.
Dua pohon beringin di depan sekolahku masih tetap berdiri kokoh dan rimbun. Daun-daunya begitu lebat dan akar-akarnyapun berjuntaian ke bawah. Banyak siswa yang sering duduk-duduk di bawah pohon itu di saat-saat istirahat atau menunggu bel masuk. Tiga tahun aku belajar di sekolah itu tanpa Sisi. Sisi beruntung memunyai kebebasan untuk bisa sekolah di kota. Awal-awal masuk SMA aku begitu sedih bahkan aku seringkali menangis tetapi lama-kelamaan aku menikmatinya.
Saat aku duduk di kelas dua bapak Sisi meninggal karena kecelakaan. Aku datang bersama kedua orangtuaku dan saudara-saudaraku pada saat pemakaman. Suasana begitu menyedihkan karena peristiwa kematian itu begitu mengejutkan bagi kami semua. Bapak Sisi meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Namun, Sisi memang begitu tangguh dan kuat. Dia tetap tegar meskipun dalam kondisi sepahit itu. Walaupun Sisi begitu dekat dengan bapaknya bahkan lebih dekat ketimbang dengan ibunya tetapi Sisi tetap bisa merelakan kepergian bapaknya sebagai suratan takdir. Sisi masih bisa melanjutkan kehidupannya tanpa bapak tanpa mengurangi sedikitpun semangatnya dalam belajar hingga akhirnya dia pun lulus SMA dengan nilai yang baik. Di mataku Sisi tetap sempurna.
Setelah lulus SMA aku dan Sisi sama-sama diterima di Universitas Negeri Surakarta hanya berbeda fakultas saja. Dia di Fakultas MIPA Kimia dan aku di Fakultas Pertanian Agronomi. Kami satu kost. Tahun-tahun pertama kami lewati bersama-sama saling mengisi, saling berbagi dalam kebersamaan, dan Sisi tetap sempurna di mataku. Dia semakin tumbuh menjadi gadis yang sangat baik, ceria, dan peduli pada teman-temannya. Tetapi di balik keceriaan itu tak pernah ada satu orang pun yang pernah tau apa yang sesungguhnya dia rasakan.
Di tahun kedua kuliah kami, Sisi tiba-tiba menjadi aneh. Cuek, malas kuliah, suka cengengesan dengan teman-teman satu kost tidak diam tetapi ramah, bahkan sering kali bolos kuliah dan hampir tiap hari dia pulang ke rumahnya di kampung. Hingga suatu malam Sisi tiba-tiba menangis. Itu adalah pertama kalinya aku melihat Sisi yang begitu kuat dan tegar menangis.
“Ibu tuh maunya apa ya, Mbak? Selalu saja dia bilang kalau aku adalah pewaris kekuatan ghaib yang pernah dimiliki Bapak. Aku sering kali disuruh untuk mengikuti ritual-ritual khusus di padepokan milik keluarga Bapak. Ibu juga makin aneh gak perhatian lagi padaku. Mas Yuli juga sekarang gak peduli padaku. Huuh apa aku turuti saja mau Ibu, biar Ibu puas.” Celoteh Sisi sambil berlinang air matanya.
“Jangan gitu, kamu yang sabar ya…!” jawabku mencoba menguatkan Sisi walau dalam hatiku masih bingung untuk berkata apa.
Sisi makin aneh. Perilakunya semakin tidak bisa diikuti. Kata-katanya juga aneh. Dia semakin suka menebak-nebak apa yang sedang terjadi pada teman-temannya dan kenyataannya tebakannya itu selalu benar. Bahkan Sisi seperti bisa membaca pikiran teman-temannya.
Tiap kali kutanya “Kok pulang terus tho, Si? Kuliahmu gimana? Apa gak telat dan capek sampai di kampus kalau kamu laju terus gitu?”
“Enggak tuh. Cepet kok. Seneng aja sekarang aku laju dari rumah ke kampus.” Jawaban yang kurasakan begitu sombongnya dan seperti bukan Sisi yang berbicara. Aku hanya bisa melongo saja mendengar ucapan Sisi.
Tiba-tiba Sisi bilang mau pindah kost. Aku makin tidak bisa mengikuti jalan pikiran Sisi. Sisi makin menjadi asing bagiku. Bahkan tidak jarang teman-teman satu kost dan teman-teman kampus bertanya padaku tentang Sisi dan aku hanya bisa menggeleng saja. Sisi makin sering tidak kuliah sukanya jalan-jalan ke pantai. Bahkan tidak jarang pada malam hari bahkan pagi-pagi sekali dia sudah di pantai Parangtritis hanya untuk sekedar mandi atau berendam. Hatiku makin risau. Apakah Sisi sedang mengikuti ritual yang pernah dia ceritakan dulu? Apakah kekecewaannya pada ibu dan kakaknya yang membuatnya seperti ini dan ritual-ritual yang dia jalani saat ini sebagai pelampiasan kekecewaannya? Aku makin bertanya-tanya.
Suatu sore aku main ke kostan Sisi. Aku kangen sekali padanya. Sudah dua bulan aku tidak bertemu dengannya. Biasanya tiap kali aku dan dia pulang kampung Sisi selalu main ke rumah dan biasanya dia bermanja-manja sama Bapak dan Ibu. Tetapi sudah dua bulan ini Sisi tidak pernah muncul.
“Sisi tidak di kostan, Mbak. Sudah dua bulan ini Sisi tidak pernah menginap di kostan. Kalaupun datang hanya untuk mengambil sesuatu sudah itu dia pergi lagi.” kata teman satu kost Sisi. Aku makin resah dengan Sisi. Kucari di kampus sama juga jawabannya bahwa Sisi tidak pernah masuk kuliah sudah satu bulan ini.
Jumat sore aku pulang kampung dengan sejuta misteri tentang Sisi. Aku berniat untuk datang ke rumah Sisi. Sabtu paginya setelah beres-beres rumah aku pergi ke rumah Sisi. Aku melihat Sisi tampak gemukan tetapi begitu layu. Wajahnya tampak sedih tanpa gairah sama sekali. Dia terkulai duduk di kursi dan diam saja saat aku datang. Aku duduk di kursi tamu dan memulai bicara dengan Sisi.
“Kapan kamu ke kampus lagi?” tanyaku begitu berhati-hati. Sisi diam saja dan akupun diam.
Akhirnya Sisi mendekatiku lalu merebahkan kepalanya di pundakku dia tampak ingin menyandarkan kelelahan dan kegelisahannya. “Aku besok gimana ya, Mbak?” Tanya Sisi lirih. “Besok ya kuliah lagi. Mulai bangun semangat baru lagi. Kamu harus bisa. Teman-temanmu sudah merindukanmu.” Jawabku lembut. Sisi masih saja lesu. “Besok Minggu sore kita pulang ke Solo ya! Senin kamu kuliah lagi!” ajakku.
Sisi mengangguk perlahan. Beberapa saat Sisi ngelendot di pundakku. Dia begitu lemas seperti tidak punya harap lagi. Aku pamitan dengan Sisi membawa kesepakatan Minggu pulang ke Solo.
Minggu aku pulang sendiri. Sisi tidak muncul di tempat biasa kami bertemu. Senin Sisi juga masih belum kuliah. Kupikir Sisi masih butuh waktu untuk sendiri karena hari-hari kemarin Sisi merasa sudah menjadi orang yang berbeda. Sisi lelah.
Rabu malam telepon kostan bordering dan anak-anak memanggilku karena ternyata ada seseorang yang menelponku.
“Dek Tia, ya? Ini ada kabar dari kampung, Dek. Mau kabari kalau Sisi telah meninggal dunia sore tadi pukul 04:00 WIB. Tolong kabari juga teman-temanya di kampus.” Suara itu terdengar begitu jauh. Aku terduduk di kursi dekat telepon. Pemeran utama dalam drama kehidupanku meninggal. Orang yang selalu menjadi orang yang paling sempurna di mataku meninggal dengan sangat tiba-tiba. Malam itu aku pulang kampung dengan teman-teman langsung ke rumah duka dan sampai pulangpun aku tidak mampir ke rumah Ibu.
Jumat sore aku pulang kampung bertemu dengan keluargaku dan mendapatkan kabar kalau Sisi meninggal karena bunuh diri. Aku menangis dan merasa berdosa telah membiarkan Sisi sendiri di saat-saat sebenarnya dia membutuhkan kawan. Ini disebabkan aku terlalu memandangnya begitu sempurna dan yakin dia selalu bisa menyelesaikan semua masalah-masalahnya sendiri. Aku terlalu memandang istimewa Sisi tanpa memandang sisi lemah dan kekurangan Sisi tanpa memedulikan saat-saat ia terjatuh dan terpuruk. Aku menyesalkan kemana aku saat Sisi sangat membutuhkan aku, kenapa aku tidak peka? Aku terkulai.
“Sisi manusia biasa, Sisi juga tidak sempurna sebagaimana diriku” airmataku luruh tak terbendung.
“Maafkan aku, Sisi. Maaf atas kenaifanku memandang kesempurnaan hidupmu hingga aku lalai bahwa sesungguhnya kau sama seperti diriku bisa rapuh dan berada di titik nol.” Aku tertunduk dengan isak tangis penuh sesal.***

Post a Comment